|
Tuesday, November 22, 2005 |
emansipasi wanita : di ujung kehancuran |
Emansipasi adalah kata-kata yang paling akrab di telinga kita jika yang dibicarakan adalah hal ihwal tentang wanita. Istilah ini demikian populernya pada era globalisasi ini, terutama setelah munculnya gerakan Women's Liberation atau gerakan Feminisme, suatu gelombang protes kaum wanita yang menuntut emansipasi wanita. Emansipasi dalam konteks kekinian seringkali merupakan alasan yang dicari bagi kaum feminis untuk mendapatkan kebebasan seluas - luasnya, yang seringkali berlebihan kadarnya. Pengertian dari kata 'emansipasi' yang paling populer adalah suatu usaha untuk menuntut persamaan hak-hak kaum wanita terhadap hak-hak kaum pria di segala bidang kehidupan. Khusus berkenaan dengan negara-negara Islam ini, kaum feminisme menganggap bahwa Islam dan negara-negara tersebut telah membelenggu hak-hak kaum wanitanya. Berikut ini adalah alasan-alasan yang dikemukakan oleh Women's Lib sebagai dasar tuntutannya sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Ahmad Dahri (1992): Masalah hakikat wanita. Bahwa perbedaan antara laki-laki dan wanita secara biologis telah dibesar-besarkan untuk menindas kaum wanita dan mereka menuntut untuk diadakan penyelidikan secara ilmiah sampai ditemukannya perbedaan laki-laki dan perempuan secara ilmiah. Masalah seksualitas. Bahwa kaum wanita mempunyai kebutuhan seksual sendiri yang dapat dipenuhi tanpa kehadiran laki-laki. Jadi mereka tidak akan tunduk untuk berhubungan seksual kalau mereka sendiri tak merasa membutuhkannya. Mereka mengharapkan bahwa hubungan seksual tidak dipergunakan oleh laki-laki untuk mendominasi wanita. Masalah keluarga. Bahwa kepentingan keluarga tidak harus didahulukan dari kepentingan-kepentingan kehendak individualnya. Siapapun bebas untuk mengaktualisasikan kehidupannya masing-masing. Masalah anak-anak. Bahwa para suami berkewajiban secara bergiliran mengasuh anak (ikut berperan ganda). Dalam pola mengasuh anak mereka mengusulkan penghapusan stereotipe bahwa anak laki-laki harus aktif sementara anak perempuan harus pasif, di rumah saja, dan bersifat keibuan. Iklim yang harus diciptakan adalah model kemanusiaan untuk berkompetisi. Masalah pekerjaan. Bahwa pekerjaan harus tersedia untuk pria dan wanita sesuai dengan kemampuan masing-masing. Mereka ingin menghapus pendapat bahwa wanita bekerja hanya sebagai sekretaris, pramugari, asisten peneliti dan pekerjaan lain yang menempatkan wanita hanya sebagai faktor substitusi saja. Apabila kita amati tuntutan diatas adalah akibat dari tidak diterapkannya islam dalam kehidupan sehari - hari. Rasulullah sendiri mencontohkan dalam kehidupannya sehari - hari pun beliau membantu istrinya untuk mencuci dan memasak. Ini menunjukkan dalam islam tidak terdapat pemisahan jenis pekerjaan seperti stereotipe yang sering kita dengar dalam buku pelajaran sekolah dasar, "ayah membaca koran dan ibu memasak nasi" yang jelas menganut sistem patriarki barat, tetapi pembagian pekerjaan itu lebih kepada kemampuan individu. Di Indonesia sendiri masalah emansipasi ini berkembang setelah adanya pemikiran-pemikiran R.A. Kartini, tokoh pergerakan kemerdekaan RI, melalui bukunya "Habis Gelap Terbitlah Terang". Menurut Ibnu Ahmad Dahri (1992), pikiran-pikiran Kartini yang dituangkan dalam bentuk surat-menyurat dan risalah ini tidak ditemui detail-detail masalah yang harus digugat oleh wanita, tetapi secara umum beliau menghendaki peningkatan harkat dan martabat wanita. Jadi sebenarnya Kartini tidak menuntut hak-hak wanita seperti di Barat, namun menuntut hak-hak wanita yang memang menjadi haknya. Nah sekarang permasalahannya adakah sebenarnya istilah emansipasi atau feminisme ini dalam Islam? Untuk menjawab hal tersebut, pertama, marilah kita perhatikan satu firman Allah SWT yang artinya: "Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan" (QS. An-Nisa : 1). Dari ayat tersebut nampaklah bahwa pada hakekatnya manusia, baik laki-laki maupun perempuan berasal dari satu nafs. Kemudian kita melangkah pada aspek yang kedua yaitu bagaimanakah kesempatan laki-laki dan wanita dalam hal mencapai kemuliaan di sisi Allah SWT. Firman Allah SWT: "Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatan, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar" (QS. Al-Ahzab : 35). Jelaslah dari ayat tersebut bahwa Allah SWT tidak membeda-bedakan hamba-Nya berdasarkan jenis kelamin. Semuanya mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh ampunan dan pahala, bagi mereka yang bertaqwa. Dalam menerima apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya ; kita hanya hanya patut untuk mencari hikmah dan ibroh (pelajaran) yang terkandung di dalamnya, dan bukan mempertanyakan tentang esensi ketentuannya. Sebagai contoh : ketika kita menerima ketetapan Allah tentang pengharaman babi, maka sikap kita dalam menanggapi ayat tersebut bukanlah : kenapa babi diharamkan ?, akan tetapi kita terima ketetapan tersebut apa adanya. Kalaupun kemudian kita meneliti dan menemukan bahwa di daging babi terdapat cacing pita (yang berbahaya bagi kesehatan), maka kita terima hal itu sebagai hikmah dari ketetapan Allah, bukan esensi dari ketetapan tersebut. Dengan kata lain ; babi itu haram bukan karena ada cacing pita, tetapi haram karena Allah menetapkanya demikian. Dengan begitu babi tetaplah haram meskipun anda bisa menghilangkan cacing pita dalam daging babi tersebut. Selanjutnya adalah menjawab pertanyaan : kenapa Islam berlaku diskriminatif terhadap wanita ? Jawabanya adalah : jika anda mengartikan diskriminatif ini sebagai membedakan, maka ya!!. Islam membedakan antara pria dan wanita karena pria dan wanita memang berbeda. Mulai dari kondisi fisiologis sampai psikologis, pria dan wanita secara alami berbeda. Inilah karunia Allah yang menciptakan makhluknya berpasang - pasangan sehingga bisa saling melengkapi. Namun jika anda mengartikan diskriminatif sebagai merendahkan, maka jawabanya tidak sama sekali. Islam sama sekali tidak merendahkan wanita. Mereka memilliki derajad yang sama. Jika anda berkata : bukankah pria menjadi pemimpin atas wanita, berarti islam mengangkat derajad pria di atas wanita !!. Jawabannya adalah : atas dasar apa anda menyatakan bahwa karena pria menjadi pemimpin atas wanita lantas saja berarti pria lebih mulia dari wanita ??? Sungguh penilaian seperti itu adalah penilaian orang yang pemikiranya sudah rusak oleh keduniawian, yang menilai derajad seseorang berdasarkan pangkat dan jabatan. Sungguh Islam bersih dari penilaian yang picik seperti itu karena Islam tidak menilai derajad manusia berdasarkan pangkatnya, ataupun berdasar hartanya. Tetapi Islam menilai derajad manusia berdasar ketaqwaannya. Lihatlah firman Allah : "Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa" (QS. Al-Hujurat : 13) Maka bisa dikatakan bahwa : meskipun pria menjadi pemimpin atas wanita, bukan berarti pria lebih mulia dari wanita, karena yang lebih mulia di antara mereka adalah yang lebih bertaqwa, dan bukan yang lebih tinggi pangkatnya. Atau bisa dikatakan bahwa Islam sama sekali tidak mendudukan wanita di bawah pria. Jika anda kembali bertanya : kenapa Islam menjadikan pria dan wanita berbeda ? kenapa pria boleh menjadi pemimpin atas wanita sedang wanita tidak boleh menjadi pemimpin atas pria ? Maka jawabannya : inilah keadilan Allah. dan harus difahami bahwa makna adil adalah menempatkan sesuatu pada tempat yang seharusnya, dan bukannya menyamaratakan segala sesuatu. Kita tentu sering mendengar ilustrasi tentang hal ini, misalnya : jika seorang ibu ingin memberikan uang saku kepada dua orang anaknya ; yang satu mahasiswa dan yang satu masih TK, maka besar uang saku yang diberika berbeda sesuai dengan kebutuhan anaknya, dan bukannya sama rata. Justru jika sang ibu memberikan uang saku anaknya yang mahasiswa sama besar dengan uang saku anaknya yang masih TK, sang ibu telah bertindak tidak adil. Islam menempatkan wanita pada posisi yang sesuai, pada posisi yang jika seorang pria mengisi posisi tersebut, dia tidak akan mampu menjalankan tugasnya sebaik jika wanita yang melaksanakanya. Apa posisi itu ? banyak. Diantaranya yang paling penting adalah posisi untuk membina anak - anaknya. Posisi ini sangat penting untuk membentuk calon - calon penerus di masa depan. Dan kalaupun seorang wanita tidak menjadi pemimpin, toh dialah yang menyiapkan calon - calon pemimpin masa depan. Lalainya wanita terhadap posisi ini (karena efek emansipasi ala barat yang sangat merusak) menimbulkan efek yang bisa kita lihat saat ini, bagaimana dekadensi moral dan rusaknya akhlaq remaja merajalela. Tentu saja ini bukan semata kesalahan wanita ; tapi toh kelalaian wanita ( dalam hal ini mengabaikan tugas untuk membimbing anak - anaknya demi mengejar karir, dll ) merupakan tembok pertahanan pertama yang rusak. Bukankah adil jika Islam mewajibkan para istri untuk membina anak - anak mereka, maka Islam juga mewajibkan para suami untuk memberi nafkah pada keluarga mereka ? Bukankah adil jika Islam menjadikan pria sebagai pemimpin, maka Islam menjadikan wanita sebagai guru para pemimpin ? Jika kemudian anda masih bertanya : kenapa laki - laki yang dijadikan pemimpin ? bukan wanita ? toh bisa saja wanita dijadikan pemimpin dan pria dijadikan pembina ? Maka jawabanya adalah : inilah ketentuan Allah yang tentu bisa anda cari sendiri hikmahnya. Dan sekali lagi ; sikap kita dalam menerima ketentuan dari Allah dan Rasulnya adalah "sami'na wa ato'na" kami dengar dan kami patuh. Jika dengan banyaknya ketentuan - ketentuan dalam Islam anda merasa terkekang, maka itulah harga yang harus anda bayar untuk mendapatkan surga. Bukankah Allah telah berfirman : "Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar."(QS. At-Tubah : 111) Ibnu Ahmad Dahri (1992) menyebutkan bahwa sebab-sebab laki-laki sebagai pemimpin wanita diterangkan pula oleh Allah dalam ayat itu juga yaitu: Karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita). Bentuk-bentuk kelebihan itu adalah : "fadhlun fithriyumn" (kelebihan fitrahnya), yaitu fisik laki-laki lebih kuat/tangguh dari pada wanita, dan "fadhlun kasabiun" (kelebihan dalam ketrampilan), yaitu karena wanita setiap bulan mengalami haid, kemudian ada tugas mulia mengandung, melahirkan, dan menyusui sementara laki-laki tidak, sehingga laki-laki tidak mengalami hambatan fisik apapun untuk berkreasi. Karena laki-laki itulah yang lebih memberikan nafkah atau belanja kepada istri ("wabimaa anfaquu min amwaalihim"). Kaum laki-laki oleh Allah dibebani kewajiban untuk bertanggung jawab atas wanita, yaitu menafkahkannya. Karena itulah posisi kepemimpinan Allah berikan kepada kaum laki-laki. Saya yakin masih banyak ayat-ayat suci Al-Qur'an lainnya yang berkenaan dengan kedudukan, harkat dan derajat kaum wanita beserta perannya dalam beribadah kepada Allah Ta'ala. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka nampaklah bahwa sebenarnya istilah dan makna emansipasi itu tidak dikenal dalam Islam, karena pada hakekatnya kedudukan wanita dan pria adalah sama di hadapan Allah SWT. Dan antara laki-laki dan perempuan tidaklah ada persaingan selain perlombaan untuk mencapai ridha Allah SWT semata. Pada bagian lain kita temui kenyataan hidup yang ada bahwa kaum wanita kini tidak hanya berkiprah di dalam rumah saja, tetapi sudah banyak yang bekerja di luar rumah. Secara garis besar ada dua hal yang mendasari wanita bekerja, yaitu: Faktor ekomomi dimana wanita bekerja karena penghasilan orangtuanya atau suaminya tidak mencukupi, sehingga ia terpaksa bekerja. Faktor alternatif dimana wanita bekerja bukan semata-mata karena uang, tetapi si wanita itu sendiri ingin berkiprah dan menyumbangkan tenaga dan pikirannya kepada bangsa dan negaranya. Dari sini kemudian muncul istilah wanita karir yang selanjutnya dihadapkan pada "peran ganda wanita" dimana wanita mempunyai tugas sebagai ibu/pengurus rumah tangga sekaligus memburu karir atau minimal menjalankan tugasnya secara baik sebagai wanita pekerja. Oleh karena itu wanita, khususnya di Indonesia harus mencapai dua sukses sekaligus, yaitu: Sukses dalam mengatur rumah tangganya: hamil, melahirkan, merawat anak dan mengatur rumah tangganya (tugas-tugas domestik). Sukses dalam berkarir, yaitu mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan di luar rumah yang selama ini menjadi dunianya kaum pria (tugas-tugas publik). Kedua hal tersebut pada akhirnya menimbulkan konflik pada diri wanita. Tidak sedikit wanita yang terguncang rumah tangganya karena kurang dapat membagi waktu antara urusan keluarga dan urusan pekerjaan publiknya. Di lain pihak banyak wanita yang tidak meningkat/berprestasi dalam pekerjaannya karena disibukkan oleh urusan rumah tangga. Tetapi tidak sedikit pula wanita yang dapat mencapai keduanya dengan kadar yang terbilang lumayan, yang Yvonne Ridley, seorang wartawan bekas tawanan Taliban. Tajuk talk show itu ialah 'From Convict to Convert'. Beliau merupakan wartawan Sunday Express, UK dan pada bulan September 2001 telah diseludupkan dari Pakistan ke perbatasan Afgahanistan.dan telah betemu dengan Abu Hamzah seorang ulama Britain yang dianggap paling ganas yang kemudian menyadarkannya akan tingginya ajaran islam, Beliau menerangkan bahwa semenjak mengkaji al-Quran beliau mengetahui lebih jelas tentang kedudukan wanita dalam Islam. "Apa yang diperjuang oleh orang barat tentang emansipasi wanita sebenarnya telah pun termaktub dalam al quran semenjak 1,400 tahun lepas. Benar terdapat tekanan terhadap wanita di negara-negara Islam tetapi saya boleh membawa kamu ke mana-mana sudut di Tyneside dan menunjukkan bahwa di sana juga terdapat keadaan seperti itu. Tekanan adalah berbentuk budaya dan tidak Islamik. Islam menggariskan kedudukan wanita lebih tinggi," jelas beliau kepada hadirin yang dianggarkan mempunyai bilangan wanita lebih ramai berbanding lelaki. Apakah sebenarnya 'ke-perempuan- an' itu, apakah ia ada? Dan bagaimana seharusnya mengidentifikasinya? Bagi yang memilih untuk berpegang pada kehakikian konsep perempuan sebagai suatu hal yang mutlak, mungkin hal ini bukanlah suatu hal yang patut dipertanyakan kembali. 'Perempuan' adalah suatu hal yang kodrati, dan juga selalu dipasangkan dengan oposisi binernya yang disebut sebagai 'lelaki' dengan segala atribut keberadaannya yang secara esensialis dianggap inheren. Maka, apa yang disebut sebagai 'ke-perempuan-an' tersebut secara umum bisa didefinisikan dengan mudah, dan selalu dipasangkan secara dikotomis dengan apa yang dianggap sebagai 'ke-lelaki-an': lembut/ kasar, lemah/kuat, pasif/aktif, kecil/besar, pasrah/agresif, dan sebagainya. Inti dari semua itu adalah Tubuh, sebagai garis batas yang paling absolut. Di tengah gencarnya gerakan kaum perempuan menyuarakan hak kaum perempuan, sungguh mengejutkan hasil Jejak Pendapat Kompas, "Perempuan dalam Kerangkeng Kultural" (Kompas, 22/12/2003) menyimpulkan, 60 persen responden menilai kaum perempuan mempunyai peran ideal di keluarga, hanya 34 persen responden lebih memilih dan mengharuskan kaum perempuan aktif bekerja. Pandangan tersebut tidak hanya diberikan responden laki-laki (67 persen), 53 persen responden perempuan pun lebih menganjurkan perempuan untuk sibuk dengan soal rumah tangga. Melihat kenyataan demikian, timbul pertanyaan mengapa di era reformasi yang memberi peluang dan kesempatan yang lebar dan tentunya tanpa membedakan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan, memperoleh hasil jejak pendapat yang demikian. Mencermati hasil jejak pendapat tersebut tercermin bahwa keberanian kaum perempuan untuk beraktualisasi dan mengekspresikan diri di wilayah publik jauh di luar dugaan dan sungguh menyedihkan. Sistem nilai dan budaya berkontribusi terhadap langgengnya patriarki yang telah melekat dari generasi ke generasi, yang menyubordinatkan perempuan di bawah superioritas laki-laki. Perempuan masih diposisikan sebagai kelompok lemah dan perlu diajari, dibimbing, dan diamankan. Semua itu menjadi pembenaran perempuan tidak bisa berperan di ruang publik, diharuskan tinggal di rumah demi keamanannya, dan berkonsentrasi di wilayah domestik. Kejadian diatas pun bila kita lihat masih merupakan sisa - sisa kebudayaan patriarki yang seharusnya tidak kita kenal apabila kita yakin kehidupan kita berjalan secara islami. Perempuan sebagai manusia mempunyai hak asasinya, namun perempuan sebagai perempuan juga mempunyai hak-haknya di samping hak asasinya. Ini yang perlu disosialisasikan sehingga kaum perempuan mengerti akan hak-haknya, baik yang hanya berkutat pada wilayah domestik maupun yang berkiprah di sektor publik. Yang tak kalah serunya dengan diundangkannya UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu yang mempersyaratkan kuota 30 persen bagi perempuan sebagai kandidat anggota parlemen pada Pemilu 2004. Menjelang pemilu banyak ditemukan kebijakan partai yang tidak memihak kepada kepentingan kaum perempuan. Tampaknya belenggu sistem patriarki sudah lama mengakar kokoh berduri. Bila tidak ada keberanian kaum perempuan untuk mendobrak, kapan lagi? Dikotomi dan absolutisme fungsi Tubuh inilah yang pada akhirnya membawa hierarki dalam kehidupan sosial di berbagai kebudayaan yang mendominasi warisan nilai-nilai di dunia sekarang ini, salah satunya dengan apa yang kita kenal sebagai patriarki pada khususnya. Feminisme dan ideologi jender yang diterapkan di Indonesia tak pelak juga terbangun dari adaptasi model yang berasal dari Barat, terutama dalam hal resistensi terhadap sistem patriarki yang telah berakar di struktur sosial Eropa sejak dulu sebenarnya salah kaprah apabila diterapkan dalam kehidupan islami karena apabila kita sudah komitmen dalam berarti secara otomatis kita mengakui persamaan hak antara laki - laki dan perempuan dalam yang sama untuk memperoleh ampunan dan pahala, bagi mereka yang bertaqwa. Laki - laki dan perempuan mempunyai tugas yang kemudian akan saling melengkapi dimana masing - masing mempunyai kelebihannya sendiri - sendiri. Emansipasi wanita dalam konteks gender barat dianggap tidak ada dalam ajaran Islam karena dalam ajaran islam sendiri kedudukan antara perempuan dan laki - laki adalah sama di mata Allah dan yang membedakannya hanyalah kadar ketakwaannya saja. Sebut saja perempuan sebagai imam dalam suatu sholat untuk makmum laki - laki dan perempuan, yang baru - baru ini booming dalam koran kompas, merupakan salah satu bentuk pemikiran yang radikal. Dunia Islam kembali dikejutkan dengan polah menyimpang dari ajaran agama dan perbuatan yang dikategorikan 'bid'ah munkarah' lainnya. Kali ini, seorang muslimah yang berprofesi sebagai perawat, asal Maroko dan berkewarganegaraan Italia mengikuti jejak sesat dua wanita sebelumnya; Aminah Wadud dan Isra` an-Na'mani. Wanita yang bernama Na'imah tersebut menuntut agar dizinkan menjadi imam di salah satu masjid Italia. Hariian Corera De La Serra (CDLS) menegaskan bahwa Na'imah, wanita berusia 30 tahun mengajukan permohonan untuk mengimami shalat bersama jema'ah yang berbaur menjadi satu antara laki-laki dan wanita di salah satu masjid kota Touskan, Italia. Kejadian ini muncul selang dua hari saja dari tindakan menyimpang sebelumnya yang dilakukan Aminah Wadud yang melakukan shalat dengan sebagian orang Islam di sebuah auditorium Sainote House, katedral Saint John The David gereja Anglikan the Synod House of the Cathedral of St John the Divine yang terletak di New York, pada tanggal 18 maret lalu. Harian CDLS seperti yang dikutipnya dari 'imam baru' itu mengatakan, "Menurut saya, adalah merupakan tindakan yang benar ketika ada wanita yang lebih mampu dari kaum laki-laki menjadi imam dalam shalat berjema'ah. Karena itu, ia wajib menjadi imam." Harian tersebut menyiratkan bahwa dari jumlah penduduk pendatang di distrik Colly Val Delisa yang mencapai 1500 jiwa, Na'imah mendapatkan dukungan dari Faris Jabarin, salah seorang yang dikatakan sebagai imam terkenal dan punya nama di Italia gara-gara berkali-kali ikut shalat bersama para pendeta katholik. Seperti diketahui bahwa al-Azhar asy-Syarif yang merupakan perguruan Islam Sunni terbesar memfatwakan tidak bolehnya wanita menjadi imam bagi kaum laki-laki. Para ulama juga menganggap tindakan Aminah Wadud, dosen Kajian Keislaman di universitas Virginia adalah sebagai 'bid'ah munkarah.' Dr Su'ad Shalih mengatakan bahwa shalat wanita yang mengimami kaum laki-laki itu batal dan merupakan perkara yang menyalahi konsensus (ijma') sejak masa Nabi SAW. Mengingat alqur'an sendiri mensyaratkan hanya laki - laki yang boleh menjadi imam bagi kaum perempuan dan kaum laki - laki sedangkan perempuan hanya diijinkan untuk menjadi imam bagi sesamanya saja. Ini sudah menjadi contoh yang cukup kelewatan bagi emansipasi wanita. Dari fakta-fakta, para feminis mengasumsikan sesungguhnya kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi. Oleh karena itu harus ada upaya mengakhiri penindasan dan pengeksploitasian tersebut. Oleh karena itu pula, feminisme juga sering didefinisikan sebagai suatu 'kesadaran' akan penindasan dan eksploitasi terhadap perempuan yang terjadi baik dalam keluarga, di tempat kerja, maupun di masyarakat dari situlah muncul tindakan sadar untuk mengubah hal tersebut. Setelah berusaha mencoba mencari akar permasalahannya, maka para kaum feminis menyimpulkan bahwa dominasi budaya patriarkilah sumber permasalahannya. Budaya patriarki mengandung konsep bahwa laki-laki bersifat superioritas dan perempuan lebih bersifat inferior, yang menempatkan laki-laki lebih berkuasa dibandingkan perempuan. Terminologi yang lebih familiar dipakai oleh para feminis untuk menyebut kondisi ini adalah ketimpangan, ketidakadilan, atau disparitas jender. Karena persoalan jender inilah yang mereka anggap sebagai biang keladi merebakanya stereotype, marjinalisasi, subordinasi dan kekerasan atas perempuan. Walau konsep feminisme mereka gaungkan terus menerus, hanya saja konsep kesetaraan jender yang mereka ungkapkan belum bisa menciptakan formula yang masuk diakal, sehingga diantara para feminispun, masih terjadi polemik. Apakah kesetaraan jender berarti memiliki kedudukan yang setara dengan pria di segala sisi kehidupan, tapi mereka pun bingung soalnya disisi lain mereka meminta cuti haid atau hamil yang pria tidak akan pernah dapatkan. Sehingga orang-orang akan bertanya apa sih yang mereka inginkan sebenarnya?. Efek dari merebaknya ide feminisme ini adalah kehancuran tatanan sosial masyarakat, karena ide feminisme yang menginginkan adanya empowerment (pemberdayaan) terhadap perempuan menuntut adanya kesamaan kedudukan sepenuhnya dengan pria di segala bidang. Padahal mau tidak mau kita harus mengakui bahwa terdapat perbedaan fisik dan psikologis antara perempuan dan pria. Karena perbedaan tersebutlah peran yang diberikan oleh Sang Pencipta berbeda pula. Tidak mungkin pria menggantikan peran melahirkan dari seorang ibu, atau menggantikan peran menyusui. Kitapun harus memahami bahwa peran yang diberikan kepada perempuan bukanlah peran-peran yang dianggap submarjinal oleh para kaum feminis. Kaum feminis menganggap bahwa peran perempuan sekarang lebih rendah kedudukannya dibanding seorang pria. Padahal kalau mau kita berpikir sekali lagi, sesungguhnya kontribusi perempuan terhadap negara amatlah penting, karena dialah yang melahirkan pemimpin-pemimpin negaranya, dialah yang pertama mengajarkan tentang kasih-sayang, cinta, empati, nilai kebenaran. Oleh karena itu, ide-ide feminisme merupakan ide yang absurd yang tidak akan menyelesaikan permasalahan, malah memperburuk permasalahan itu sendiri. Konsep tersebut tidak lain adalah konsep yang muncul dari pemikiran yang dangkal (pemikiran yang hanya melihat dari satu fakta tanpa mengkaitakan dengan fakta atau informasi lainnya). Feminisme pun tidak terlepas dari ideologi kapitalisme, yang membuat mereka hanya melihat dari segi untung-ruginya saja menurut pandangan mereka sendiri. Padahal peran perempuan yang mereka anggap rendah tersebut merupakan peran yang amat vital bagi tatanan sosial suatu negara. Kalau kita mau berpikir jernih dan merenung sesaat, kita akan memahami bahwa tindakan kekerasan, dan ketidakadilan terhadap perempuan adalah satu fenomena dari banyak fenomena ketidakadilan yang diciptakaan oleh sistem saat ini. Karena sistem saat ini tidak memiliki perangkat-perangkat hukum yang dapat mencegah kekerasan, penindasan, trafficking terhadap perempuan. Sistem sekarang malah membuat perempuan layaknya sebuah komoditas ekonomi, sehingga pengeksploitasian perempuan begitu mudah terjadi. Jadi jika menginginkan solusi, bukanlah dengan memperjuangkan ide-ide feminisme yang menuntut persamaan secara total antara laki-laki dan perempuan karena pada dasarnya laki-laki dan perempuan itu berbeda Ternyata feminisme hanya menjadi solusi parsial, disatu sisi menghilangkan tindakan pelecehan terhadap wanita tapi disisi lain menimbulkan gejala social yang tidak sehat. Wanita ingin bebas, tapi bebas yang seperti apa ? wanita ingin maju, maju dari segi apa ? seperti gimana majunya ? wanita ingin setara, setara seperti apa ? mau dikemanakan pria? semuanya kacau, tidak jelas, konsepnya kabur apalagi solusinya. Sudah kita lihat fakta yang sedemikian hancur, emansipasi definisi barat sudah salah dalam menentukan langkah awal, terlalu terlihat rasa ingin balas dendam, dan emosional akhirnya solusi dan definisi kesetaraanpun tidak jelas. Sebenarnya telah ada aturan yang mengatur hubungan antara pria dan wanita dalam kehidupan public, keluarga dan pribadi, aturan ini telah terbukti mengangkat derajat wanita tanpa menimbulkan masalah baru seperti feminisme, aturan ini telah menciptakan kehidupan yang harmonis antara pria dan wanita selama 14 abad, dan system ini bukanlah system yang dibuat-buat oleh manusia, Karena aturan ini berasal dari pencipta manusia yaitu Allah SWT yang telah menciptakan kita semua. Dalam Islam sendiri gerakan emansipasi wanita telah berlangsung sejak empat belas abad yang lalu, namun tidak disadari oleh sejumlah kalangan yang sampai saat ini tetap berkoar-koar menuntut emansipasi wanita. Apakah mereka lupa bahwa sebelum Islam datang wanita tidak memiliki hak sama sekali di hadapan lelaki. Kapasitas mereka hanyalah sebagai barang dagangan yang bisa dipindahkan dari lelaki satu ke lelaki yang lain. Kelahiran mereka tak ubahnya seperti penyakit kusta yang menyerang tubuh bagi keluarga mereka. Kelahiran anak wanita adalah suatu bencana dan aib yang sangat besar pada saat itu. Hal ini dalam al-qur'an secara gamblang dijelaskan: "Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitam (merah padamlah) mukannya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburnya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alanglah buruknya apa yang mereka tetapkan itu." (An-Nahl: 58-59) Rasulullah yang diutus sebagai rahmatan lil'alamin adalah pelopor emansipasi wanita dalam Islam. Beliau akan memerangi siapa saja yang akan mengubur anak wanita mereka hidup-hidup. Dan belia juga menjanjikan ganjaran yang sangat besar diakhirat kelak bagi mereka yang membesarkan anak wanita mereka: "Barangsiapa yang membesarkan anak-anak perempuannya, dan merawat mereka dengan baik, mereka akan melindunginya dari api neraka." Ibnu Abbas r.a. meriwayatkan dari Nabi s.a.w. beliau bersabda: "Tidaklah seorang Muslim yang mempunyai dua anak puteri, kemudian berbuat baik kepada keduanya kecuali keduannya akan memasukkannya ke dalam surga." (HR. Ibnu Majah) Dan Abu Hurairah r.a meriwayatkan bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda: "Barangsiapa yang mempunyai tiga anak wanita, kemudian bersabar atas tinggal mereka, kesusahan mereka dan kesenangan mereka, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga dengan rahmat-Nya kepada mereka," ada seseorang yang bertanya, "Bagaimana jika dua anak wahai Rasulullah?" Nabi s.a.w. bersabda, "(ia) dua anak wanita juga," orang itu bertanya lagi, "Wahai Rasulullah, bagaimana jika satu anak wanita?" Nabi menjawab, "Satu juga" (HR. Hakim) Islam yang sejak empat belas abad yang lalu telah mengangkat derajat wanita dari kehinadinaannya masih saja dikambinghitamkan sebagai agama yang memasung gerakan emansipasi wanita oleh sebagian kalangan. Apakah mereka melihat ada agama lain yang lebih memperjuangkan hak-hak wanita dari agama Islam? Agama hindu mengatakan bahwa wanita hanyalah laksana angin jahat, neraka jahim dan ular yang berbisa, dan api tidaklah lebih berbahaya dari wanita. Sedangkan agama Yahudi tidak memberikan tempat terhormat bagi wanita. Dalam pandangan mereka wanita tidak memiliki hak kepemilikan, hak waris dan wanita adalah makhluk yang terkutuk. Selanjutnya agama Kristen tidak kalah memandang hina terhadap wanita, seperti yang termaktub dalam Bible katolik: "Kelahiran anak perempuan adalah merugikan." (Pengkhutbah 22:3) Selanjutnya Bible juga mengatakan: "Tiada kejahatan yang serupa dengan kejahatan wanita... Dosa bermula dengan wanita dan karenanya kita semua harus mati" (Pengkhutbah 25: 19,24) Dalam banyak ayat Islam secara tegas mengatakan bahwa di hadapan Allah tiada bedanya antara lelaki dan wanita, yang membedakan mereka hanyalah tingkat ketaqwaan dan amal mereka. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Mukmin ayat 40, "Barang siapa yang beramal sholeh baik laki-laki maupun perempuan sedangkan mereka beriman, maka mereka akan masuk surga dengan tiada terhingga." Dan disinyalir juga dalam surat al-hujarat ayat 13: "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." Demikianlah Islam telah memperjuangkan hak-hak wanita. Telah menjadikan emansipasi wanita menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan beragama. Tapi mengapa sebagian kalangan masih saja menganggap bahwa Islam adalah pemasung emansipasi dan liberalisme? Hal ini terjadi karena kepicikan otak mereka yang tujuannya tak lain hanyalah untuk mendiskreditkan agama Islam. Tapi kenapa umat Islam juga terlibat di dalamnya, baik wanita maupun prianya? Hal ini disebabkan karena kurang pahamnya mereka terhadap Islam dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Mereka mengartikan bahwa emansipasi adalah persamaan di segala bidang. Mereka lebih cenderung melihat hak dari pada kewajiban. Mereka menginginkan agar hak wanita disamakan dengan hak kaum pria. Namun di sisi lain mereka tidak pernah mengatakan agar kewajiban wanita disamakan dengan kewajiban pria. Sebenarnya di sinilah letak kekeliruan mereka selama ini. pandangan mereka terhadap emansipasi hanyalah pandangan parsial yang bersifat hedonis. Mereka menuding Islam telah merendahkan wanita ketika Islam menetapkan bagian wanita separuh dari bagian lelaki dalam warisan. Namun mereka tidak pernah melirikkan mata mereka betapa Islam telah memikulkan beban yang sangat berat kepada kaum lelaki untuk menafkahi Istri, Anak, dan bahkan orang tuanya. Sebenarnya di sinilah letak keindahan agama Islam. Ia melebihkan yang satu dalam satu hal dan melebihkan yang lain dalam hal lain. Islam memandang wanita dan pria sama kedudukannya dimata Allah SWT, yang membedakan adalah ketakwaan mereka. Jadi sejauh mana mereka menaati perintah Allah dan RasulNYa itulah yang menentukan kedudukan mereka. Islam pun telah membagi peran pria dan wanita dalam kehidupan public atau privat, wanita adalah pengatur rumah tangga, merekalah yang mencetak manusia-manusia yang beradab, wanita pun berperan dalam perubahan masyarakat, mereka terkena kewajiban untuk merevolusi system kufur, mereka berkewajiban untuk mengkoreksi penguasa, walapun mereka dilarang untuk menjadi pemegang kekuasaan, akan tetapi bila para penguasa melakukan tindakan yang melecehkan kaum wanita maka mereka akan diturunkan atau terkena hukuman karena perbuatannya. Wanita adalah tetap wanita.. Yang seharusnya kita lakukan adalah memperjuangkan agar diterapkan sebuah sistem (islam) yang dapat mengayomi seluruh rakyatnya termasuk didalamnya kaum perempuan. Dan Revolusi Pemikiran lah Jawabannya. Karena selama ini prinsip dan perasaan termarjinalkannya perempuan ada di pemikiran kita. Akhirnya marilah kita kaum muslimin dan muslimah untuk bersama-sama memberikan kontribusi pemikiran untuk menanggapi, menganalisis dan mencarikan solusi mengenai masalah peran ganda wanita muslimah ini yang sudah menjadi masalah kita bersama yang sudah barang tentu perlu dikaji secara Islami. Tiada lain harapan saya semoga solusi yang kita peroleh akan menambah cakrawala keimanan kita dalam beribadah kepada Allah SWT dengan tanpa ada kecualinya, laki-laki atau perempuan, dengan tidak meninggalkan fitrah dan kodrat kita masing-masing, laki-laki atau perempuan, saling melengkapi.Labels: tulisan |
posted by cerberus @ 6:54 PM |
|
2 Comments: |
-
Kerinduan wanita terhadap lingkungan adalah ingin berbuat sesuatu yang dapat berguna bagi kehidupan orang lain, dan dengan itu pula banyak wanita yang Berkarir agar dapat bermanfaat bagi keluarga kecil dan masyarakat.
-
|
|
<< Home |
|
|
|
|
|
Kerinduan wanita terhadap lingkungan adalah ingin berbuat sesuatu yang dapat berguna bagi kehidupan orang lain, dan dengan itu pula banyak wanita yang Berkarir agar dapat bermanfaat bagi keluarga kecil dan masyarakat.